Cerita Jodha Akbar 216: Jalal Menyesal Atas Kepergian Jodha

www.microtrendy.blogspot.com --- Pada cerita Jodha Akbar sebelumnya dikisahkan bagaimana keadaan istana setelah kepergian Jodha.  Meskipun Jodha telah pergi, Maham Anga dan Rukaya tetap menyimpan rasa khawatir. Hal tersebut disebabkan karena Jalal mengetahui apa yang sebenarnya. Yakni bahwa Jodha tidak bersalah, tidak selingkuh sebagaimana sangkaannya.

Inilah kelanjutan cerita Jodha Akbar setelah kepergian Jodha.

Baca juga: Surat Jodha Untuk Jalal dan baca pula Puisi Sedih Jodha Akbar Nan Menggetarkan

Jalal menyesali atas kepergian Jodha.


Cerita Jodha Akbar 216: Hamidah Marah Kepada Jalal

Pada cerita Jodha Akbar kali ini, dikisahkan bagaimana Jalal menyesal atas tindakannya. Ia juga bertambah sedih karena Hamida marah besar kepada dirinya. Berikut kisah selengkapnya. 

Sharifudin dan Maham Anga

Sharifudin sangat senang dengan perginya Jodha. Kerenggangan hubungan Jodha dengan Jalal bisa jadi merupakan jalan baginya untuk mendapatkan Jodha. Begitulah yang dipikirkannya ketika berbicara dengan Maham Anga.

Maham Anga juga mengerti bahwa kesalahpahaman Jalal pada Jodha cepat atau lambat pasti terselesaikan. Dan jika masalah mereka selesai, mereka akan bersatu kembali. Lebih dekat dari sebelumnya.

 

Tingkah Javeda

Ketika Maham Anga melangkah setelah kepergian Sharifudin, tiba-tiba terdengar suara yang tidak asing di telinganya. Ya, Javeda. Tidak salah lagi. Itu adalah suara Javeda

"Ibu!" seru Javeda
"Ada apa Javeda?" Maham Anga terlihat kesal seperti biasanya.

"Bolehkah aku berbagi kesedihan denganmu?"
"Adam sudah kembali. Apa yang kau sedihkan?"

"Adam memang telah kembali, tetapi Jodha telah pergi, Bu. Aku tidak suka dengan istana tanpa kehadirannya."

"Aku harus pergi, aku memiliki banyak hal yang harus aku kerjakan." Maham Anga tampak kesal dengan Javeda.



Cerita Jodha Akbar 216: Jalal Sedih Memandangi Lukisan Jodha

Semenjak kepergian Jodha, Jalal termenung dalam kesedihan. Ia benar-benar menyesali tindakannya. Padahal ia tahu bagaimana selama ini Jodha selalu menjaga kehormatannya.  Di kamar itu, Jalal memandangi wajah Jodha yang tersenyum dalam sebuah lukisan. Jalal memandanginya seolah-olah lukisan itu benar-benar Jodha.

"Kau begitu marah karena aku mengusirmu...Dan kau benar-benar meninggalkan istana ini. Kau hanya diam saja selama ini. Tidak membantah tuduhanku. Tidak pula mengatakan bahwa aku salah." Jalal berkata di hadapan lukisan Jodha.

"Aku tidak tahu harus bagaimana. Aku memang tidak mampu mengendalikan emosiku, tetapi kau juga mudah sekali tersinggung. Mengapa kau tak menjelaskan seperti biasa yang kau lakukan?

"Aku memang telah berbuat salah dengan meragukanmu. Tetapi semua ini karena ulahmu juga. Kenapa kau tak katakan yang sebenarnya.

"Mengapa kau menyembunyikan rahasia dariku? Mengapa kau tidak jujur padaku?

"Aku hanyalah seorang Raja bukannya Tuhan.Bagaimana aku memahami jika engkau hanya diam saja.

"Seharusnya kita berdebat denganku. Seharusnya kau bertengkar denganku. Kau bertengkar denganku untuk para pelayan, untuk Baksi Banu, untuk rakyat, tetapi mengapa engkau tidak bertengkar untuk dirimu sendiri..." Jalal merasa pilu mengenang sikap Jodha selama ini.

"Aku memang berkata dengan ucapan buruk ketika marah, tetapi bukan berarti bahwa kau harus pergi dariku...

"Tidakkah engkau memiliki perasaan untuk kerajaa ini, keluarga ini, dan untuk diriku?

"Jika bukan karenaku, kau bisa tinggal di sini demi ibuku. Ia menyayangimu sebagaimana menyayangi putrinya sendiri. Atau demi Rahim yang menganggapmu sebagai seorang Ibu. Bukankah ia tidak dapat tidur kecuali kau telah menceritakan sebuah kisah untuknya. Atau demi Salimah yang sudah menganggapmu layaknya seorang adik. Atau demi rakyat yang begitu mencintaimu."

Jalal terus meratapi kesalahannya. Ia sadar telah menyia-nyiakan Jodha; menyia-nyiakan sesuatu yang amat berharga dalam hidupnya. Perasaannya terguncang. Padahal sebelumnya ia menganggap perasaannya telah mati dari dirinya. 


Hamida Marah, Menyalahkan Jalal

Dalam pada itu, Hamida tiba-tiba datang dan mengucapkan kata-kata yang menambah sedih Jalal. Hamida menyalahkannya, "Apa sekarang kau telah menyadari kesalahamu, Jalal?" Ucapnya. "Apa kau sudah menyadari betapa berharganya Jodha...?"

Hati Jalal lemah mendengar ucapan ibunya. Ia mencoba untuk membela diri, "Ibu, aku..."
Tetapi Hamida langsung memotong ucapan Jalal. "Jangan panggil aku Ibu. Kau tidak pernah paham arti penting dari sebuah hubungan." Hamida terlihat marah. 

"..Hubungan tidak berarti bagimu. Kini bahkan aku tidak mungkin bisa bertemu dengan Jodha." lanjut Hamida, "Itu karenamu..."

Jalal yang memang merasa bersalah memohon maaf, "Ibu mohon maafkan kesalahanku..."
Namun Hamida tetap marah. Ia berkata dengan tegas, "Tetapi kenapa kami yang menanggung kesalahanmu? Kenapa ibu yang menanggung kesalahanmu itu? Kenapa harus Rahim dan Salimah yang menanggung penderitaannya? Kenapa harus rakyat yang menanggungnya?" 

Setiap kata dari ucapan Hamidah semakin membuat pilu hati Jalal.  Ia semakin menyadari betapa berharganya Jodha. Bukan hanya dirinya yang kehilangan, namun begitu banyak orang yang akan menanggung penderitaan akibat kehilangan Jodha. 

"Dia sudah seperti putriku sendiri," lanjut Hamida, "Jodha adalah wanita terhormat. Orang paling bodoh sekalipun mengetahuinya."

"Aku melakukannya tanpa sengaja, Ibu."
"Cukup, Jalal! Jangan beri penjelasan padaku." Hamida semakin tinggi. "Meskipun tanpa sengaja tetaplah perbuatanmu adalah kejahatan besar. Aku begitu bangga dengan Jodha," Hamida mulai memuji Jodha, "Dia berjuang demi martabatnya dan meninggalkan istana ini..."

Semakin pedihlah hati Jalal mendengar ucapan Ibunya. Ia tidak dapat berkata apa-apa lagi selain permintaan maaf. Hamida masih melampiaskan kekesalannya. 

"Tidak ada wanita yang memiliki harga diri yang membiarkan dirinya dihina. Seorang Raja harusnya memahami mana yang baik mana yang jahat." Kemudian dengan rona sedikit sedih Hamida berkata, "Jodha adalah permata di antara para wanita dan kau tidak bisa membedakannya."

"Ibu, kumohon jangan marah padaku. Maafkanlah diriku"
"Memaafkanmu? Bagaimana aku memaafkanmu? Aku seorang ibu yang terluka," Hamida tidak lemah sedikitpun di hadapan permohonan Jalal, "Putriku telah kau hina. Dan jika kau tidak mencintai putriku, kenapa kau simpan lukisannya di kamarmu? Aku akan membawanya."

Jalal hanya dapat memohon di hadapan ibunya. Tak ada yang dapat dijadikan pembelaan. Hamida belum berhenti, ketika Jalal memohon maaf kepadanya, Hamida menjawabnya, "Ini adalah prinsipmu. Bahwa seseorang hanya dapat dimaafkan oleh orang yang menderita karenanya."

Jalal benar-benar tidak menyangka dengan kemarahan ibunya. Betapa sayangnnya Ibunya kepada Jodha. Dan memang Jodha layak mendapatkan kasih sayang dari semua orang. 

"Kau bersalah kepada Jodha. Mohonlah maaf kepadanya. Aku bisa memaafkanmu jika hanya kau bawa Jodha kembali." Kata Hamida. Ia pergi dengan membawa lukisan Jodha. 

Sikap ibunya membuat Jalal semakin mengerti arti dari kehadiran Jodha di istananya. Semakin membuat dadanya sesak karena sedih. 

Di tempat lain, Jodha duduk  lunglai: hanya bersandar di sebuah pohon. Betapa sedih hatinya. Dan ia hanya sendiri menanggung kesedihan itu. Dan keadaan Jodha lebih terungkap dalam episode selanjutnya.

Episode Selanjutnya: Kisah Jalal Mencari Jodha

***

Demikian keadaan Jalal dan istana setelah kepergian Jodha dalam cerita Jodha Akbar: Jalal Menyesali Atas Kepergian Jodha